Halaman

Selasa, 13 Agustus 2013

Sunset Terakhir Ayah

Hampir setiap sore, aku selalu melihat pemandangan ini di pesisir pantai bersama ayahku. Sunset ini membuat kami terasa lebih dekat, kami sering bercerita di saat saat seperti ini. Semuanya sungguh sangat indah, matahari terbenam layaknya di makan ombak yang bergulung-gulung, terkadang di hiasi dengan burung-burung yang beterbangan di atasnya, Perfect!. Aku dan ayah bercerita banyak hal, hingga tersimpan banyak kenangan disini.

Hingga pada suatu saat, aku tak sengaja mendengar percakapan ayah dan paman. "Den, kau harus banyak istirahat, jangan terlalu cape" ujar paman. "Ini tidak terlalu cape kok paman." jawab ayah. "Tapi kau harus ingat penyakitmu, kau terkena penyakit gagal ginjal" ujar paman. "Paman, walaupun kematianku hanya seminggu lagi, tapi aku ingin menyenangkan putriku". Kesedihan mulai terasa menyapaku. Aku harus menerima kenyataan bahwa ayah yang ku sayangi seminggu lagi akan meninggal. Aku berlari secepat mungkin ke pesisir, ku pandangi lautan, ia seakan berbicara menceritakan kenangan ku bersama ayah disini. Air mataku mengalir deras. Ku usap air mataku, "Aku harus kuat!" tegasku

Aku kembali menuju ke rumah, aku berusaha agar tidak terlihat menangis di hadapan ayah. Ayah menyapaku, aku hanya tersenyum dan pergi menuju kamarku. Ayah mungkin melihat ada yang berbeda dariku, oleh karena itu ia ke kamarku dan mengajakku ke pesisir. Aku pun menurutinya. Ayahku mengandeng tanganku, tangannya dingin, ku tahan tangis ku.

Sampai di pesisir, matahari terbenam seakan-akan mengucapkan selamat tinggal, anganku melayang jauh, aku membayangkan bahwa yang mengucapkan selamat tinggal itu ayahku. "yang? kamu gapapa?" ujar ayah membuyarkan lamunanku. "Iya yah, gapapa kok, aku cuma mandengin sunset aja" ujarku. Ku pandang matanya, aku merasakan tatapannya sudah mulai kosong. Kesedihan terasa sedang mengunyahku. Inginku menangis di dalam lautan agar ayah atau siapapun tak tau. "Yah, ayah tau ngga? aku seneng bisa seperti ini sama ayah" ujarku membuka pembicaraan. "Benarkah? apa yang membuatmu senang, sayang?" jawabnya. "Aku senang karena ayah ada disisiku, menghiburku" ujarku sambil tertawa. Kami berdua tertawa bersama, aku tak ingin aku terlihat bersedih saat bersama ayah. Entah apa yang ayah rasakan, tapi yang aku rasakan adalah aku bertanya-tanya apakah ini tawa terakhirku dengan ayah?. Aku berusaha membuang pikiran seperti itu. Matahari terasa terbenam dengan cepat, aku kembali kerumah.

Aku mengajak ayahku balap lari hingga sampai rumah. Aku segera lari, ayah juga. Aku membalap ayah, aku merasa senang. "Argghh" Ayah ku kesakitan. Aku berbalik, air mataku mengalir, aku segera lari menuju ayah. "Ayaaah! Ayaaah! ayah jgn tinggalin aku, maafih aku yah" Aku mengguncang-guncangkan tubuh ayahku. Ibu, paman, dan bibi menghampiri aku dan ayah ku, paman membawa ayahku ke mobil. Kami kerumah sakit. Dalam perjalanan, aku terus menangis, aku duduk di samping paman yang membawa ayahku. Ku peluk ayahku, air mataku membasahi baju ayahku.

Sampai di rumah sakit, dokter langsung memeriksa ayah, seorang suster menutup pintu ruangan. "Dokter jangan biarkan ayah pergi! Dokter jangan biarkan! Dokter! Dokter!" aku merengek memukul-mukul pintu itu. Ibu memelukku, berusaha menenangkanku, membawaku duduk. Tak lama setelah itu, dokter Husen yang memeriksa ayah keluar dari ruangan. Dia ke arahku, memegang tanganku, "Maaf ya nak, ayah kamu tak tertolong" ucap dokter. Mendengar ucapan itu, aku langsung berlari ke arah ayahku, air mata tak henti-hentinya mengalir di pipiku. Aku merasa bersalah, andai saja tadi aku tak mengajak ayah balapan, hal ini tak akan terjadi.

Sampai dirumah, aku mengurung diri di kamar. Ku renungi kesalahan ku pada ayahku, ku kenang berbagai cerita tentang nya. Pikiranku benar, tawa tadi adalah tawa terakhirku dengan ayah, sunset tadi adalah sunset terakhir ku dengan ayah. Ibu mengetuk pintu kamarku "Yang, boleh ibu masuk?" ujarnya. "Masuk aja bu ga di kunci" jawabku. Ibu ku masuk, ia usap air mataku "Sayang, ayah meninggal bukan untuk membuatmu menangis, tapi ayah ingin kamu bersikap lebih tegar" ucap ibu sambil memelukku. "Tidak bu, ayah meninggal karena ku, aku yang salah bu" ujarku. "Yang, hidup dan matinya seseorang itu sudah diatur oleh Allah, bukan oleh manusia, jadi tenang lah" ucap ibu. "Benarkah?" tanyaku "Iya sayang, sekarang ayo bantu ibu" ujar ibu "baiklah bu" ujarku. Ku rasa mamah benar, hidup dan matinya seseorang sudah di atus oleh Allah dan ayah meninggal bukan untuk membuatku menangis, tapi ayah ingin aku bersikap lebih tegar.

Setelah kepergian ayah, aku tetap melakukan kebiasaanku melihat sunset. Ku ambil sepotong ranting, ku ukir "AYAH" di pasir pesisir tepat disamping ku. Ku kurung ukiran tersebut dengan bentuk love. Jika ukiran tersebut terkikis oleh air laut, ku buat kembali ukiran tersebut. Kadang terlintas di benakku cerita tentang ayah, tapi aku tetap tidak boleh menangis. "Mulai sekarang tidak ada lagi balap lari" ujarku.

- Kita terbuat dari tanah dan suatu saat akan kembali ke tanah. Kesehatan sangat berharga, maka jagalah kesehatan.
By : Nindi Pigitha

1 komentar:

  1. menarik cerita.n gan... .

    kunbal & kombal.n d.tunggu oleh
    nurulhedayat.blogspot.com

    BalasHapus